Senin, 09 Maret 2020

Rekod Digital Dalam Kacamata Hukum


Graphic Recording (by Eine Saraswati)
Jakarta – Perkumpulan Profesi Pengelola Rekod Indonesia (P3RI) Selasa, 04/02/2020 kembali mengadakan diskusi yang ke empat kalinya, kali ini diskusi yang bertema “Rekod Digital dan Regulasinya” diselenggarakan di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, yang berlokasi di Puri Imperium Plaza, Jakarta Selatan. Diskusi yang dihadiri oleh para praktisi rekod di Jakarta dan sekitarnya dan pustakawan serta arsiparis dari Kementerian Hukum dan HAM ini, dibuka oleh Yunus Husein, Ketua STHI Jentera dan pernah menjadi Ketua PPATK tahun 2002. Dalam sambutannya, beliau menyambut baik acara coffeetalk ini, sebagai praktisi hukum, penyimpanan rekod sangat dibutuhkan dalam pembuktian hukum. Dalam rangka mencegah terjadinya tindak pidana lain, rekod diminta retensinya 5 tahun ke belakang sampai transaksi berakhir. “Kelemahan kita di masalah kearsipan, penjajah Belanda lebih banyak menyimpan dokumentasi-dokumentasi lama daripada Bangsa Indonesia sendiri.
Acara yang dimoderatori oleh Redaktur Senior hukumonline.com, Muhammad Yasin ini, mengawali diskusi pertama kali oleh Wiwit Mardiati, staf pengajar Manajemen Rekod dan Arsip Vokasi UI.  Menurut Wiwit, dokumen menjadi arsip ketika menjadi bukti dari suatu kegiatan (dinamis/rekod), kemudian berubah menjadi statis ketika dokumen tersebut memiliki nilai sejarah. Ketika suatu arsip hilang, maka arsip tersebut menjadi vital, “Ada 3 aspek yang harus diperhatikan dalam alih media arsip, khususnya dalam pembuktian digital, yaitu : otentisitas, integritas, dan security atau keamanan.” Melengkapi dari penjelasan Wiwit, staf Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Hendro Wicaksono juga menambahkan bahwa suatu dokumen elektronik yang lahir digital (born digital) memerlukan, bahkan mensyaratkan adanya tanda tangan elektronik yang diperoleh melalui kerja sama dengan Lembaga Penyelenggara Sertifikasi Elektronik (PsrE), “Di Indonesia, lembaga PsrE pemerintah adalah BPPT, Kemenkominfo, dan BSSN," Jelas Hendro, Staf Di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Menutup diskusi, M. Faiz Azis menegaskan bahwa, pembuktian hukum suatu dokumen elektronik dapat menggunakan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu seseorang dapat membuktikan suatu dokumen yang didalihkan kepadanya melalui pembuktian Terbalik. (Dhestari)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Social Media

Perpustakaan Balitbangdiklat, Kementerian A gama pada hari R abu (17/07/23) melakukan kegiatan seminar bedah buku secara hybrid dengan tem...

Popular Posts