Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mengadakan knowledge sharing bertema “Serah Simpan Karya Cetak Karya Rekam dan Paten” pada tanggal 22 Juli 2022. Acara ini terbagi menjadi 2 sesi, sesi pertama diampu oleh Emyati Tangke Lembang, Direktur Deposit dan Pengembangan Koleksi Perpustakaan, Perpustakaan Nasional, Gunawan, SP., M.Si, Kepala Pustaka Kementerian Pertanian, Tatat Kurniawati, Koordinator Deposit Perpustakaan Nasional, dan Wayan Yoke, Sub Koordinator Perpustakaan Kementerian PUPR. Sesi kedua diampu oleh Lasino, S.T., APU, Peneliti Ahli Utama Kementerian PUPR, Ir. Lidya Winarsih, Pemeriksa Paten Ahli Utama, Kementerian Hukum dan HAM, dan Dra. Nurmala, Pemeriksa Paten Ahli Utama, Kementerian Hukum dan HAM.
Web seminar sesi pertama dibuka dengan pembahasan mengenai Penghimpunan & Pengelolaan Hasil Serah Simpan KCKR: Mewujudkan Repositori Nasional oleh Tatat Kurniawati. Menurut Tatat, terdapat tiga jenis karya, yaitu karya cetak, karya rekam analog, dan karya rekam digital. Karya rekam analog antara lain kaset, cd, vcd, dvd. Karya rekam digital, antara lain buku elektronik, terbitan berkala elektronik, kartografi elektronik, musik digital, dan film digital. Tatat mengatakan “Penyerahan karya dilakukan di Perpustakaan Nasional, di mana karya cetak: 2 eksemplar, maksimal 3 bulan dan karya rekam: 1 salinan maksimal 1 tahun, dan perpustakaan provinsi, yang terdiri dari karya cetak: 1 eks maksimal 3 bulan dan karya rekam: 1 salinan maksimal 1 tahun”
“Penyerahan dapat dilakukan secara langsung ke Perpustakaan Nasional (datang langsung, unggah mandiri, dan interoperabilitas) dan melalui pengiriman (JNE, J&T dll). Karya rekam digital dilakukan melalui unggah mandiri, setelah itu diberikan tanda registrasi karya, setiap judulnya merupakan identitas dari karya yang melekat,” sambung Tatat.
Narasumber kedua, Emyati Tangke Lembang membahas mengenai Kebijakan Penghimpunan Karya melalui Sistem Pengelolaan Karya Cetak dan Karya Rekam. Beliau menyampaikan “Sebelum adanya UU No. 13 Tahun 2018, kita sudah mempunyai UU No. 4 Tahun 1990 untuk Karya Cetak Karya Rekam.” Terdapat perbandingan, antara lain:
UU Tahun 1990 belum ada KCKR analog. Sedangkan UU Tahun 2018 sudah diatur.
UU Tahun 2018, pemerintah diwajibkan menyediakan dana dari APBN, APBD, dan dana lain yg sah. Sedangkan UU Tahun 1990 belum diatur.
UU Tahun 1990, sanksi berupa pidana, dan belum ada penghargaan. Sedangkan UU Tahun 2018 sanksi berupa sanksi administratif dan sudah ada aturan pemberian penghargaan.
Menurut UU No. 13 Tahun 2018 pasal 4, penerbit menyerahkan 2 eksemplar setelah terbit maksimal 3 bulan ke Perpustakaan Nasional dan 1 eksemplar setelah 3 bulan ke Perpustakaan Provinsi. Sedangkan di pasal 5, produsen karya rekam menyerahkan 1 salinan setelah 1 tahun publikasi ke Perpustakaan Nasional dan Provinsi.
Emyati mengatakan “Jumlah penerimaan KCKR sebanyak 2.939.000 eksemplar (karya cetak 2.007.744 eksemplar dan karya rekam 931.264 eksemplar), klas ilmu sosial paling banyak, lalu sastra, teknologi dan terapan, agama, sejarah, geografi, IPA, dan kesenian olahraga dan rekreasi.”
Narasumber ketiga, Gunawan, membahas Best Practice Pengelolaan dan Pengembangan Koleksi KCKR di Perpustakaan Kementerian Pertanian. Dalam paparannya, Gunawan mengatakan “PUSTAKA merupakan perpustakaan pertanian dan biologi tertua di Indonesia, didirikan pada Mei 1842. Pada awalnya, PUSTAKA adalah bagian dari Kebun Raya Bogor. Pada tahun 1850, menjadi perpustakaan dengan nama Bibliotheek’s Land Plantentuin te Buitenzorg. Beberapa kali perubahan tugas, fungsi dan nama. Pada Maret 2000, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian nomor 160/2000 menjadi Pusat Perpustakaan dan Penyebaran Teknologi Pertanian.”
Lanjut Gunawan, “KCKR diperlukan sebagai sumber informasi penting bagi pembangunan pertanian, salah satu tolak ukur kemajuan intelektual pertanian, dan lintasan sejarah pertanian di Indonesia. Pada tahun 2020, PUSTAKA bertindak sebagai pengelola KCKR Kementerian Pertanian” (Peraturan Menteri Pertanian Nomor 30 tahun 2021 tentang Pengelolaan Karya Cetak dan Karya Rekam Lingkup Kementerian Pertanian).
Narasumber terakhir, yaitu Wayan Yoke yang membahas mengenai Materi Implementasi Serah Simpan KCKR di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Kementerian PUPR sesuai Peraturan Menteri PUPR Nomor 13 Tahun 2020 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat,
Pasal 69. Biro Komunikasi Publik memiliki tugas melaksanakan pembinaan dan penyelenggaraan komunikasi publik di Kementerian,
Pasal 70. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69, Biro Komunikasi Publik menyelenggarakan fungsi: (e) pembinaan, pengelolaan, dan evaluasi penyelenggaraan pelayanan publik Kementerian;
Hambatan yang ditemukan dalam pelaksanaan KCKR, sebagai berikut :
Kurangnya kesadaran akan pentingnya penyimpanan dan pengelolaan KCKR;
Belum adanya ketentuan penyimpanan KCKR;
Belum ada definisi yang jelas mana yang termasuk produk KCKR yang harus disimpan;
Adanya ketakutan tersebarnya informasi yang seharusnya tidak dipublikasikan;
Ego sektoral.
Wayan mengatakan “Rencana pengembangan sistem pengelolaan serah simpan KCKR dengan menyusun peraturan atau acuan serah simpan KCKR di lingkungan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) yang memuat definisi KCKR, dan penerapan sanksi jika tidak melaksanakan KCKR, KCKR jenis apa yang harus diserahkan, pihak penanggung jawab dan prosedur KCKR, serta hal-hal yang dianggap perlu.”
Dalam sesi kedua, Lasino mengatakan “Pemanfaatan Lumpur Sidoarjo (LUSI) sebagai material konstruksi berawal dari kegagalan dalam pengeboran minyak dan gas yang sampai saat ini belum selesai, kegagalan pengeboran migas itu sendiri menyebabkan kerugian yang sangat besar baik langsung dan tidak langsung. LUSI dapat dikembangkan untuk pemanfaatan bata merah, genteng, agregat, beton ringan, mikro LUSI, dll.”
Menurut Lasino, terdapat isu utama dalam pemanfaatan LUSI, yaitu:
Adanya Bahan Lumpur yang melimpah dan belum dimanfaatkan secara optimal,
(Merendam Kawasan, merusak lingkungan, konflik sosial)
Tersedianya Limbah Industri dan Pertanian (Perlu dimanfaatkan dengan baik)
Kebutuhan Bangunan & Peluang Usaha Kerja (Banyak bangunan yang rusak & industri yang tutup atau Relokasi)
Pengembangan Bahan Bangunan Ekologis (Pemanfaatan Lumpur dan Bahan Limbah)
Pemberdayaan Masyarakat (Keterampilan, peluang kerja, dan ekonomi masyarakat)
Lidya Winarsih, salah satu perwakilan dari Kementerian Hukum dan HAM membahas mengenai Sosialisasi Paten Secara Umum Berdasarkan UU Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Paten. Winarsih mengatakan “Tujuan dibentuk UU Paten adalah senantiasa untuk menumbuhkan persaingan usaha yang jujur dan memperlihatkan kepentingan masyarakat pada umumnya.” Menurut Winarsih ada beberapa poin utama yang menjadi sejarah paten di Indonesia, yaitu:
Undang-undang Nomor 6 Tahun 1989 Tentang Paten;
Undang-undang Nomor 13 Tahun 1997 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1989 Tentang Paten;
Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten; Dan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Paten.
- Paten biasa (perlindungannya 20 tahun) diberikan untuk beberapa invensi masih dalam kesatuan invensi (dasar pemberian pasal 55 ayat 1 UU Paten).
Paten sederhana (perlindungannya 10 tahun) diberikan hanya untuk satu invensi saja; alat atau produk kecuali product by process (dasar pemberian pasal 55 ayat 2 UU Paten). Persyaratan Paten Sederhana menurut pasal 2 ayat 2 UU No.13 Tahun 2016: Mempunyai Kebaruan (novelty); Merupakan pengembangan dari produk atau proses yang telah ada, dan Dapat diterapkan dalam industri (industrial applicability).
Narasumber terakhir, Dra. Nurmala, Pemeriksa Paten Ahli Utama, Kementerian Hukum dan HAM, mendeskripsikan paten sebagai sesuatu yang berkaitan dengan invensi. “Invensi adalah ide inventor yang dituangkan ke dalam suatu kegiatan pemecahan masalah yang spesifik di bidang teknologi berupa produk atau proses, atau penyempurnaan dan pengembangan produk atau proses,” ujar Nurmala.
Dalam invensi ada 2 (dua) hal yang dilindungi yaitu paten dan paten sederhana. Nurmala mengatakan “Untuk hak paten, diberikan invensi yang baru, mengandung langkah inventif, dan dapat diterapkan dalam industri, sedangkan untuk paten sederhana diberikan untuk setiap invensi baru, pengembangan dari produk atau proses yang telah ada, dan dapat diterapkan dalam industri.”Paten mempunyai spesifikasinya sendiri, yaitu: deskripsi atau uraian invensi(informasi), klaim(perlindungan), dan abstrak. Menurut pasal 25 ayat 4 UU Paten No. 13 Tahun 2016 dalam penulisan klaim, baik penulisan klaim tunggal atau dua bagian, klaim harus menjabarkan dengan jelas dan konsisten atas inti invensi dan didukung oleh deskripsi yang dibutuhkan. Klaim dari suatu invensi dapat berupa Klaim produk maupun Klaim aktivitas.
Nurmala menambahkan, susunan deskripsi paten mencakup deskripsi, klaim, abstrak dan gambar jika diperlukan. Dalam paparannya Nurmala memberikan beberapa tips dalam pembuatan spesifikasi paten, agar spesifikasi yang dideskripsikan jelas dan mencakup semua yang dibutuhkan.
Dalam penulisan klaim dan deskripsi invensi harus memuat semua kebutuhan dengan jelas atau bahkan detail. Sedangkan hak paten memegang peran penting untuk sebuah perusahaan. Jika, sebuah perusahaan mempunyai hak paten maka perusahaan tersebut dapat melindungi kekayaan intelektualnya. Sehingga terdapat batasan bagi orang-orang yang ingin menggunakannya. (Hana, Aliifah. Editor : Dhestari).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar